Oleh Howard Davidson adalah CMO Almond FinTech
Ada masalah yang meresahkan dalam keuangan digital. Secara historis, perempuan menghadapi berbagai hambatan sosial dan ekonomi. Sayangnya, bahkan di zaman modern ini, kenyataannya perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang adil.
Jalan perempuan menuju kemandirian dan inklusi keuangan terhambat karena mereka membutuhkan akses terhadap keuangan digital. Kita bisa mengubahnya, tapi itu memerlukan banyak usaha. Tujuannya akan sepadan.
Terdapat kesenjangan dalam keuangan digital yang dikenal sebagai kesenjangan gender digital. Kesenjangan ini bukan hanya soal statistik; ini tentang hambatan sistemik yang mencegah perempuan mengakses layanan keuangan.
Keuangan digital adalah kunci kemudahan dan peluang dalam kehidupan modern, namun banyak perempuan yang terpinggirkan dan tidak dapat berpartisipasi penuh dalam kemudahan modern ini. Secara global, peluang perempuan untuk mengakses layanan keuangan sangat berkurang. Layanan keuangan mencakup rekening bank, kredit, dan bahkan metode pembayaran digital.
Sangat mudah untuk melupakan bahwa di balik angka-angka tersebut terdapat orang-orang nyata dan kisah-kisah perempuan yang telah kehilangan peluang dan potensi yang belum dimanfaatkan. Ada banyak permasalahan yang terkait dengan kesenjangan gender digital ini. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kurangnya akses terhadap teknologi namun juga faktor sosio-ekonomi, norma-norma budaya, dan, sayangnya, bahkan pembatasan hukum yang sangat mempengaruhi perempuan.
Misalnya, rata-rata perempuan mempunyai hak hukum 77 persen lebih sedikit dibandingkan laki-laki di seluruh dunia. Yang lebih mengkhawatirkan adalah pada tahun 2022, reformasi yang menargetkan kesetaraan gender mencapai titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Tidak masalah apakah perempuan tersebut berasal dari desa atau kota; perempuan di mana pun menghadapi perjuangan berat dalam hal mendapatkan akses terhadap layanan keuangan, dan hal ini hanya membuat siklus ketidaksetaraan dan ketergantungan ekonomi terus berlanjut.
Ini bukan hanya tentang menyamakan kedudukan dan membuat segala sesuatunya setara bagi perempuan. Ini tentang membantu memberdayakan perempuan sehingga mereka dapat mengendalikan masa depan keuangan mereka. Mari kita mengkaji lebih jauh kesenjangan gender digital dan mengeksplorasi bagaimana kita dapat mencapai pemerataan akses dan pemberdayaan perempuan yang lebih baik.
Mari selami beberapa angka. Secara global, 74% perempuan memiliki akses terhadap rekening di lembaga keuangan, dibandingkan dengan 78% laki-laki. Meskipun kesenjangan ini tidak terlalu besar, kesenjangan ini lebih mencolok terjadi di negara-negara berkembang. Di negara-negara seperti itu, di sinilah sebagian besar orang yang tidak memiliki rekening bank tinggal. Ambil contoh Afrika Sub-Sahara. 61% laki-laki memiliki rekening bank dibandingkan dengan 49% perempuan.
Bank Dunia menyadari bahwa memasukkan uang ke rekening bank merupakan bagian integral dari menabung, meminjam, dan menjaga keamanan uang. Faktor-faktor ini memperjelas mengapa mempersempit kesenjangan dalam keuangan digital sangat penting untuk membantu perempuan berkembang. Mendapatkan bayaran atas suatu pekerjaan, menerima dana, atau menerima subsidi melalui perbankan digital adalah kunci bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam sistem keuangan.
Ada alasan lain mengapa perempuan terkena dampak buruk keuangan digital. Perempuan secara statistik memiliki pekerjaan yang dibayar tunai. Perempuan juga terikat pada konvensi budaya lokal, yang menegakkan aturan tentang siapa yang mendapat pekerjaan, siapa yang harus mengasuh anak, dan siapa yang melakukan tugas rumah tangga tanpa dibayar.
Contoh lain kesenjangan antara laki-laki dan perempuan terkait kesenjangan keuangan digital terjadi di Amerika Latin. Penelitian menunjukkan bahwa gender mempengaruhi tingkat suku bunga. Laporan Bank Sentral Kolombia pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa laki-laki secara rutin mendapatkan suku bunga yang lebih rendah dibandingkan perempuan. Meskipun demikian, laki-laki mempunyai profil risiko yang lebih tinggi. Kesimpulan penelitian ini didukung oleh statistik lima tahun dari kredit mikro, hipotek, dan item pinjaman konsumen lainnya.
Contoh bagaimana keuangan digital telah membebaskan perempuan adalah Liberia. Di Liberia, para guru harus melakukan perjalanan hingga 10 jam pulang pergi untuk mendapatkan uang tunai dari gaji mereka. Ketika guru harus bepergian untuk mendapatkan uang, mereka sering kali tidak dapat hadir di tempat kerja. Selain bepergian untuk mendapatkan uang, mereka juga menghabiskan 15 persen gaji mereka untuk perjalanan tersebut. Kini, setelah para guru dibayar secara digital, mereka memperoleh rata-rata 13,5 jam setiap dua minggu. Pembayaran digital juga membantu memastikan pengurangan 90% dalam memperoleh uang mereka. Waktu yang dihemat adalah setengah hari setiap dua minggu, lebih baik dihabiskan di kelas atau bersama keluarga.
Ketika perempuan memiliki akses terhadap keuangan digital, mereka memiliki kendali lebih besar atas kehidupan mereka. Misalnya saja di Bangladesh, mayoritas tenaga kerja di pabrik garmen adalah perempuan. Sebagaimana dibahas di atas mengenai norma budaya, perempuan di Bangladesh secara rutin harus memberikan gajinya kepada orang tuanya atau jika mereka sudah menikah dengan suaminya.
Mereka tidak memiliki kendali atas uang mereka meskipun merekalah yang memperolehnya. Penelitian dari Better Than Cash Alliance menunjukkan bahwa ketika pabrik garmen membayar pekerja perempuan mereka secara digital, sebagian besar perempuan, 69%, melaporkan bahwa mereka dapat mengendalikan uang mereka sendiri karena suami, orang tua, atau anggota keluarga mereka tidak dapat mengambil uang tunai. mereka dibayar.
Di luar beberapa permasalahan yang telah dibahas di atas, permasalahan lain yang menjadi kendala perempuan adalah perlunya bantuan untuk membuktikan identitasnya. Bank Dunia baru-baru ini menyoroti masalah identitas ini dan dampaknya yang luas terhadap perempuan. Masalah identitas ini menghalangi akses terhadap layanan keuangan apa pun yang tersedia dan menghambat kemampuan perempuan untuk membangun riwayat kredit dan mendapatkan peluang kerja yang sah. Sayangnya, faktor-faktor ini menyebabkan berlanjutnya siklus kemiskinan dan marginalisasi, yang menjebak perempuan dalam ketidakamanan finansial.
Mengatasi masalah ID sangat penting untuk membantu perempuan mencapai pertumbuhan ekonomi.
Kita harus menyadari bahwa perubahan kebijakan harus diimbangi dengan profitabilitas dan kesetaraan lembaga keuangan bagi perempuan. Ini bukanlah penghalang kecil. Fintech, bank, serta sektor publik dan swasta tidak dapat menyelesaikan permasalahan keuangan digital secara individual.
Diperlukan kerja sama untuk mendapatkan akses keuangan yang adil bagi seluruh perempuan antara pihak yang memegang kekuasaan pemerintahan dan penyedia layanan sektor swasta yang dapat memberikan wawasan mendalam mengenai hal-hal yang dapat diubah dan bagaimana caranya.
Para pembuat undang-undang harus secara aktif berupaya menciptakan undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang relevan gender untuk membantu perempuan. Selain itu, mereka juga harus berupaya untuk memastikan perempuan bisa mendapatkan akses ke lembaga keuangan melalui cara lain selain sekadar kartu identitas. Sebaliknya, mereka juga bisa mempermudah perempuan untuk mendapatkan kartu identitas.